Skip to content

that’s life…?

March 29, 2009

Hari ini tak secerah hari kemaren. Keriangan juga tak terlihat di wajah-wajah anak muda ini. Awan gelap dari arah Barat digerakkan oleh angin dengan laju yang lebih besar dari biasanya, bergerak menutupi langit-langit kota kecil tempatku sekarang. Perlahan, kristal halus dan mengandung butiran air mulai membasahi permukaan bumi. Terjun bebas tertarik gravitasi menawarkan kesejukan dan kelembaban menggantikan panas terik mentari yang sangat membakar kemaren siang. Terik dan sejuk silih berganti memutar siklus kehidupan dan atau kematian beragam makhluk di permukaan kerak bumi Pulau Sumatera. Hukum alam, siklus alam, peristiwa alam, segala hal-hal yang diberi atribut “alamiah”, saat ini sedang diserbu tanda tanya yang tak habis-habisnya keluar dari bagian depan tengkorak kepalaku yang kecil ini.

Tanda tanya terbesar kini hinggap dan menerobos benteng pikiran atas peristiwa mengejutkan sepuluh hari yang lalu. Hujan sore ini menambah pelik persoalan dan suhu dingin dataran tinggi Siborong-borong seolah ikut-ikutan mendramatisir suasana, melumpuhkan akal pikirku dengan tanya tak terumuskan, tak terbantahkan, tak terjawab. Tanda tanya yang terletak di akhir tumpukan kata, “kenapa temanku meninggal?”, “semuda itu?”, “secepat itu?”, ohh…

Terkejut. Iyah, siapa yang tak terkejut bila tiba-tiba mendengar kabar duka, seorang teman telah menyatu dengan tanah, beberapa meter dikedalaman sana, dan tak satupun teman almarhum yang tahu, bahkan hadir di hari keberangkatannya ke liang lahat pun tidak. Keterlaluan. Seketika alam pikirku menghina, meraung, meracau, menohok relung, menguras rasa dan akal, seraya berkata kurang ajar kau sebagai manusia!!!.

Tak ada sesuatu kata yang mampu terucap selain terdiam, membisu, dingin, dan tanda tanya itu tak kunjung pergi. Sore ini, kami beberapa dari rekan satu almamater almarhum memutuskan untuk datang ke rumah tempat sahabat kami di besarkan oleh keluarga, orang tua, sanak saudara dan handai taulan. Di rumah ini, di lantai kayu papan ini, masih terbayang olehku sepuluh hari yang lalu, sosok tubuh kaku, dingin tak bernyawa, tergeletak, terkujur membisu, dalam sebuah peti kayu dengan simbol salib ditengahnya, sementara teman-teman tak ada disisinya, bahkan hingga detik terakhirnya di perhentian sementara ini. Kucoba menepis bayangan itu, namun raungan, jeritan, histeria yang disertai air mata sang ibu kian mengucur lebih deras dan keras, menikam gendang telingaku masuk dan menusuk tiap-tiap sel dalam tubuhku. Air mata sang ibu berbicara khusuk dalam seribu satu tanya, “kenapa puteriku meninggal?”, “semuda itu?”, “secepat itu?”, “mendahului aku ibunya, ayahnya?”, “ohh Yang Kuasa, apa yang sedang terjadi padaku?”…

Dan ketika sepasang mata sang ibu bertemu dengan tubuh-tubuh muda kami, ia tak kuasa menatap wajah-wajah kami dan ia semakin menjadi-jadi dalam jerit tangisnya. Ohh…Iska…lihatlah teman-temanmu ini datang, ohh iska…hilang sudah keceriaanmu bersama teman-temanmu ini, semuda kau puteriku!!, secepat itu puteriku!!, putriku Iska… dimana kau berada nak? teman-temanmu datang ke rumah kita anakku… dan tangis itu terus berlanjut… Ucap sang ibu lirih, ia melihat wajah puterinya Iska dalam wajah-wajah kami…yang sore ini bersama hujan dari langit, tertunduk membisu…

Dan hari ini, tanyaku pada hukum alam, pada kehidupan, dan pada kematian, menuntut jawab!!

Dan Tangis, dan air mata, satu-satunya ekspresi terdalam dan teragung yang dihaturkan oleh nurani. Ratap. Ia kerap melambangkan cinta dan harapan. Dan mati pada akhirnya menaklukkan hidup. Barangkali untuk menyampaikan pesan kepada sang manusia akan keterbatasannya. Kekuatan cinta dan harapan pada akhirnya tak cukup kuat untuk mempertahankan hidup. Selain berserah dan menerima segala sesuatunya, dan berharap bahwa mati hanyalah satu bentuk jalan kehidupan yang berbeda. Ia yang telah dahulu, abadi selamanya.

Hanya dengan matilah manusia menghargai hidup. Sebaik-baiknya. Bahwasannya hidup itu singkat.  Dan mati itu selamanya…

Turut berduka atas peristiwa duka ini. Teman yang telah dahulu…kami tak tau hendak berkata apa, kala engkau dihadapkan dengan satu hal yang tak terelak, yang tak ada kata mungkin untuk dilawan, selain hanya berpasrah kepada sang khalik, dan menerima apa terjadi dan selanjutnya melanjutkan hidup…….

Untuk Sahabat
Iska Sihombing
Alumni Yasop 2001
“Selamat Jalan dan …….. “

COMMANDO

January 14, 2009

Begini ceritanya, saya dan seorang teman lagi nongkrong di sebuah tikungan. Menikmati rujak buatan kampung. Di warung yang baru kami singgahi itu ada dua orang pak polisi. Kebetulan kedua polisi itu kenal dengan teman saya. Teman saya ini selain termasuk anak muda ugal-ugalan juga kerap melakukan “transaksi”. Aku tak tau transaksi apa, ia dan kawan lainnya hanya menggunakan bahasa-bahasa kode dan tanda. Dan saya sudah seperti mengerti, bahasa tanda mereka adalah bahasa transaksi tukar menukar koleksi narkoba dan obat-obatan, barangkali…Nah, herannya si 2 orang pak polisi tadi juga berbahasa kode dan tanda dengan teman saya ini. Dan seperti merengek-rengek polisi yang satu itu seolah meminta diberi paket atau apalah namanya. Tidak malu-malu. Teman saya berkata “lagi kosong kita katua, macem manalah dibikin”, “sabarlah dulu pak ketuaku”… inilah dulu ya.., Rp.100ribu melayang dari dompet ke tangan pak polisi itu. Resmilah…transaksi jamaah bawah tanah terjadi di depan hidungku sendiri. Aku diam saja mengamati. Barangnya tak keliatan, buktinya tak ada. Lagian teman sendiri.

Nah, jalan di kampung ini memang lebarnya tak seperti jalan-jalan di kota. Kira-kira 1 1/2 lajur lah. Sehingga kalau mobil papasan, yang satu harus mengalah, ‘ngambil badan jalan.

Dari jauh kami sudah melihat ada mobil polisi patroli bergerak mendekati warung tempat kami makan yang kebetulan persis berada di tikungan tersebut, dengan kecepatan lambat. Dari arah berlawanan bergerak satu pengemudi sepeda motor. Bonceng tiga, tanpa helem, lengan kaos hitam puntung, rambut jabrik, anak muda, kira-kira tamatan SMA lah. Mereka tak melihat ada mobil bergerak dari arah depan, karena memang jarak pandang dihalangi oleh warung. Anak muda mengendarai sepeda motor bebeknya sambil bergaya sambil ketawa-ketawa. Seperti dunia ini hanya milik anak muda.

Naas.. sepeda motor ketemu muka ke muka dengan mobil patroli polisi. Persis di tikungan patah itu. Karena memang bergerak dengan kecepatan lambat, si polisi langsung menghentikan mobil patrolinya. Ada empat pak polisi dalam kijang kapsul itu. Kelihatannya masih pangkat-pangkat rendah, karena memang masih sat-lantas. Keempat pak polisi langsung teriak-teriak, hingga perhatian kami di warung langsung tertuju kepada mereka. Si polisi menghentikan mobilnya. Tak sadar ia, berhenti di tengah jalan dan tikungan pulak.

Turun…Berhenti….Cepat…Sini…Sini…Awas kau….Dengan tekanan suara tegang, mata melotot, kepala terjulur keluar dari jendela mobil patroli. Seketika tawa tiga orang anak muda tadi hilang. Sepi. Pak polisi yang duduk di belakang bangku supir langsung turun mendekati sepeda motor pemuda yang sudah tak tertawa-tawa lagi.

Mulut polisi muda itu langsung komat-kamit seperti sedang mengucap mantra. Disertai jari telunjuk tangan menunjuk-nunjuk si pemuda. Si anak muda terdiam saja, lalu mencabut kunci motornya. Ia tak kuasa berdebat dengan polisi sat-lantas yang sudah terbiasa dan mahir mengintimidasi pengendara jalanan. Dari saku pak polisi keluar kitab terlipat-lipat kusut dengan satu bolpen biru. Pasti surat tilang pikirku. Catat punya catat, dan paraf. Tilang di tempat. Tilang di tikungan. Satu polisi lagi turun dari mobil patroli lalu memboyong motor pemuda. Mungkin saja dibawa ke kantor. Tanda bukti penangkapan.

Kurang lebih 15 menit tikungan ini mendadak berubah menjadi ajang penangkapan dan penghakiman. Gara-gara motor ketemu muka ke muka dgn mobil patroli. Gara-gara jalan sempit. Gara-gara warung yang menutupi jarak pandang pengemudi. Gara-gara si jabrik anak muda bergaya bonceng tiga dengan kawannya. Gak pake helem pulak. Mungkin saja juga tidak bawa STNK, SIM C dan lainnya. Komplit.

Polisi yang sejak tadi duduk bersama kami menikmati rujak siang, bergerak ke arah mobil patroli. Lalu seolah menceramahi si supir yang juga polisi sat-lantas. Kemudian si supir menunduk-nunduk lalu menggerakkan mobilnya mundur, menyepi ke bahu jalan. Tak lupa, polisi teman kami di warung mencatat nama dan nomor telepon si supir. Barangkali akan diberi peringatan, atau mungkin saja minta bagian dari transaksi yang baru saja terjadi. Entahlah…

Ketiga anak muda yang ditilang di tikungan lalu merapat ke warung tempat kami berada menikmati rujak dan sosro dingin. Panas terik. Melangkah dengan wajah lemas dan lesu. Antara ingin berontak dan melawan namun tak kuasa. Karena lawannya lebih kuat, empat orang pak polisi. Ekspresi wajah mereka seketika berubah, seperti kaget. Melihat ternyata di warung ini pun ketemu pak polisi lagi. Dunia apa ini, dimana-mana polisi. Naas lagi..

Saya sudah senyam-senyum. Lalu nyeletuk, “emang bisa yah ketemu di tikungan, lantas tilang di tikungan, berarti ini namanya tilang tikungan”. Kertas tilang ia lipat-lipat dan masukkan ke saku, memesan teh botol sosro. Kawan saya menjawab dengan, “tentu saja bisa, kalau mau ditilang”. Berarti kalau kita tidak mau dan melawan bisa gagal ditilang di tikungan. Bukankah tilang menilang itu hanya bisa terjadi pada saat operasi resmi dan razia resmi? Polisi yang di warung diam saja pura-pura tak mendengar percakapan kami. Anak muda tiga orang itu juga diam saja menyedot sosronya sambil pandang-pandangan dengan polisi di warung itu.

Lalu teman saya memanggil ibu-ibu si penjaga warung. Lantas berkata, berapa semua ini, yang di meja ini, itu juga ikut minuman anak muda itu. Kami berjalan berpamitan dengan seisi warung, beranjak pergi menggunakan kijang kapsul biru donker, yang mana kaca reben depannya ditempeli stiker besar-besar, COMMANDO.

Ritual

January 7, 2009

Ritual. Kata yang sering sekali mengganggu pikiran. Karena memang dalam kaca mata Rosa, semua bidang kehidupan saat ini sedang digandrungi Ritual. Tak terkecuali di kota ataupun di kampung. Orang kaya atau orang miskin. Gandrung Ritual. Ritual harian, mingguan, bulanan, tahunan, dalam berbagai bentuk ekspresinya. Rosa pernah menuliskan kata-kata berikut dalam catatannya,

Dalam setiap community, lebih luas society, baik yang bersifat religius atapun sekuler dan bahkan yang berada di tengah-tengahnya, memiliki kecenderungan kebutuhan akan ekspresi, untuk mengekspresikan pikiran, rasa, karsa, dan cipta, yang sedikit banyak berhubungan dengan tema-tema inteligensi, emosional, dan sosial interaksi. Kebutuhan akan “ekspresi” ini kerap menjadi di-ritual-kan baik secara sadar ataupun dalam alam bawah sadar. Seperti disampaikan Carletoon Coon “..the need for ritualized expression that whole societies, whatever their sizes and degrees of complexity, need controls to ensure the maintenance of equilibrium, and controls comes in several forms. One is Ritual..”

Rosa berjingkrak-jingkrak kala “Judika” sang penyanyi Batak Ibukota malam itu gemuruh melantunkan nada-nada tinggi, ciri khas yang membawanya sampai ke tangga Indonesian Idol. Kota kecil yang masih mirip kampung, yang sepi, seketika meriah dengan popularitas Judika. Ia hadir di kota kecil ini atas undangan panitia (pemkab Samosir) untuk menghibur masyarakat kampung, dalam rangka merayakan hari jadi otonomi daerah Samosir. Tentunya kocek yang dikeluarkan untuk mendatangkan Judika dkk juga tidak sedikit. Sudah berapa kali? ini tahun kelima acara serupa digelar, mengundang artis-artis populer ibukota, dirikan pentas, dentuman alat musik menggoyang lapangan luas halaman SMA Negeri disana. Rakyat dari seluruh penjuru kampung berkumpul, berdecak kagum dan tersihir dalam alunan irama dan melodi. Kepiawaian artis-artis ber-rok pendek, berkulit putih bersih, ber-make-up ala madonna, bersuara melengking dan terkadang mendesah menggoda pejabat-pejabat daerah, sudahlah cukup untuk menggoda dan mendatangkan orang-orang dari sawah dan ladang. Turun ke acara pesta tahunan, ritual ulang tahun kabupaten.

Rupanya tidak hanya anak kecil saja yang gemar acara ber-ulang tahun, kabupaten pun gemar.

Rosa menyalakan Jarum Black kesukaannya. Menghirup asap dibawah siraman jutaan bintang di langit. Langit di kampung berbeda dengan langit di kota tempat Rosa kuliah. Langit di kampung banyak bintangnya. Kelakuan Rosa yang gemar merokok kerap menimbulkan banyak gossip dan bisik-bisik diantara orang sekampung. Bagaimana tidak, ia seorang wanita muda, tapi kok merokok yah? Berbagai gossip, bisik-bisik, dan kecurigaan yang kerap melintas di telinga Rosa tidak menjadikannya ambil pusing. Ia hanya mencoba berpikir sejenak. Mengamati kelakuan ribuan penduduk kabupaten malam ini. Tidak salah, ribuan orang berkumpul di lapangan malam itu. Ada yang sudah setengah mabuk tuak, mabuk vodka, mabuk whisky, mabuk Red label. Semua jenis minuman memabukkan ada di kampung ini. Bukan hal baru. Tua muda, kaya miskin, menyatu di lapangan, bernyanyi dan bergoyang. Mengelu-elukan Judika si Indonesian Idol, bintang yang menghibur penduduk kampung semalam suntuk.

Sehari sebelumnya, Rosa menyempatkan berjalan berkeliling. Ia tak bosan-bosannya mendatangi kampung-kampung. Sekedar menyaksikan kehidupan sederhana ala kampung. Seketika Ia teringat dan menjadi terheran, kenapa masih ada kampung yang tidak masuk listrik? Tak jauh dari jalan raya itu. Hanya beberapa puluh meter saja. Sedang malam ini, hiburan ritual tahunan, bertabur cahaya warna warni lampu sorot yang konon harga sewanya saja sangat mahal.

Sehari sebelumnya ia juga sempat berkenalan dengan seorang anak kampung bernama Martua, yang keadaannya memprihatinkan. Pakai alas kakipun tidak. Kaki ayam. Kenapa ada…?

Rosa yang pintar matematika di sekolahan, mencoba berhitung, kira-kira berapa dana dihabiskan untuk acara malam ini saja? Dekorasi pentas, bayaran artis-artis, sound system, panitia, keamanan, logistik dan dokumentasi, dllnya, totalnya 700juta. Malam ini Rupiah sebanyak 700 juta berlalu begitu saja. Untuk apa? Hiburan. Hiburan ulang tahun kabupaten. Hiburan kemaren habis berapa Rupiah yah?

Malam ini hanya salah satu dari puluhan hiburan dan ritual yang diselenggarakan pemda Kabupaten Samosir dalam setahun. Termasuk di dalamnya ritual Natalan dan Tahun baruan.

Rosa menyatukan jemari tangan kanannya hingga menyerupai bentuk tinju, lalu meninju telapak tangan kirinya. Ia tak berdaya, tak mampu bersuara, tak berkutik. Ia hanya bergumam meninggalkan lapangan malam itu, dan Rosa berlalu…

BEDEBAH

December 23, 2008

Berisik sekali facebook mu Jol, gak punya kerjaan lain apah?” …sontak untaian kata itu membikin keningku kernit, mataku menyipit, mulutku mengutap terdiam, sudut bibirku berputar meliuk dihimpit gigi baris depan, tanpa sadar. Wajahku seketika menjauh dari monitor laptop ini, sepertinya hendak menghindar dari kata-kata itu yang seolah menerjang, menikam, menghentikan dengan paksa keasikanku sejak kenal facebook tiga bulan terakhir. Hampir tiap hari aku berfesbuk ria. Troubleshooting, coba sana sini sagala feature dan kelengkapan social network canggih ini.

Lantas dengan emosi membara, dalam perasaan seperti dilecehkan, dihina, diejek, aku buka wall sobatku itu, dan kata-kata makian mengalir dari sepuluh jariku pada barisan wall-comment miliknya: “anjeee**!!!, kont**!!! Bab*!!! Bangsa*!!! Jahana*!!! Suka-sukakulah, apa pulak urusanmu dengan aktifitasku!!!, apa pulak hakmu mengurusi kesenanganku!!! Siapa kau rupanya anjen*!!! Tutup mulutmu jahana*!!!

Entah sejak kapan aku doyan mengucap kata-kata yang biasanya dihindari orang itu, apalagi dilempar kepada sobat sendiri. Entah sejak kapan juga aku menjadi kebocah-bocahan, doyan bertengkar dan mempertentangkan hal-hal yang mungkin tidak penting. Apakah aku sudah berubah menjadi orang yang sangat sensitif? Diganggu sedikit lantas langsung berteriak, meracau, menerjang, mengucap sagala sumpah serapah, tanpa aling pikir? Dimana akal sadar dan akal sehatku? Apa yang merasuki diriku? Entahlah…namun jaringan internet tak mengijinkan sumpah serapah itu sampai di wall comment sobatku, Network is not connected, ERROR!!!. Fiuh.. aku tarik nafas dalam-dalam, kucoba back dan send command lagi…dan.. error lagi… internet keparat!!! Langsung saja window mozilla, browser kesukaanku, kututup dengan tekanan telunjuk pada mouse sekeras-kerasnya. Dan monitor laptop kututup segera.

Kuseduh secangkir kopi dari dapur, kusundut ujung batang jarum black, kuhirup asap tembakau itu dalam-dalam, cukup lama…hingga kuhembuskan dengan rasa lepas..bebas… pukul 19.30 Aku seorang diri di rumah, duduk di sofa menghadap meja dan laptop. Bunda dan adikku no.2 pergi ke gereja, menyaksikan adikku paling bungsu ber-liturgi, merayakan ritual natal. Kalau dia masih menganut paham agama kristen pasti hobby acara yang beginian, hobby dengan ritual beginian. Aku sudah terang-terangan menghindar dari segala macam ritual dan bait itu sendiri, bahkan kepada ibuku yang membesarkanku dari profesi guru agama kristen sekalipun, juga telah seringkali mendebat keras denganku.

“Katanya : jangan lihat bangunan gerejanya amang, tapi pandanglah ke atas, Kasih Jesus itu lah yang telah membesarkanmu 25 tahun umurmu sekarang, melalui ibumu sendiri anakku, bangunan gereja itu akan berlalu, tapi kasih Jesus adalah kekal selamanya anakku…”

“Tak kuasa aku berdebat denganmu mama, bagaimanapun kaulah ibuku, yang telah membesarkan ku 25 tahun, aku hidup dari air susumu, bagaimana mungkin aku tak menyayangimu? Ah, sudahlah bunda, tak muat akalku dengan tuhanmu itu saat ini, belum sanggup akalku menerjemahkan tuhanmu yang kau agungkan itu. Lagi pula sudah aku tak percaya dengan surga dan nerakamu, sudah aku tak percaya dengan malaikat dan setanmu. Aku tak peduli apa kata orang. Saat ini, bagiku itu khayalan. Sudah cukup aku hanyut menghayal 25 tahun mama, kumohon mama…jangan paksa aku menghayal lagi… hanya ucap yang bisa kuungkap sekarang untuk mu, TERIMA KASIH untuk 25 tahun.

Dan mama, sepertinya khalayan inilah yang membuat rumah bordil 20 rumah di sebelah timur rumah kita itu masih saja sibuk tiap malam. Sibuk dengan manusia-manusia yang bergulat dan bernafsu di bawah atapnya. Keherananku belumlah hilang mama, di tiap sudut kampung kecil ini ada saja bangunan megah yang dinamai bait suci, namun disana, di bawah atap itu, tua-muda, adam-hawa, serasa membentuk dunianya sendiri, asik bergulat ditemani sejuknya lonceng gereja tiap 6 pagi dan 6 petang. Dan aku tak lupa mama, negeri ini katanya negeri bermoral, negeri beragama, tapi begitu banyak yang tak bisa kupahami paradox dari kehidupan di bumi nusantara ini. Entah…

Mamaku tak melepaskan pandang kepadaku dua malam sebelum kejadian facebook ini kami mendebat. Kusambung lagi bicaraku, “..dan lebih herannya mama, tak jauh dari rumah perkumpulan itu, ada sekolah mama…sekolah dasar!!!… dan mama tau sendiri, sekolah SD itu adalah sekolahan mama sendiri, tempat mama mengajar pendidikan agama kristen. Dan setiap pagi murid-murid sekolah, generasi muda bangsa ini berjalan melewati halaman rumah itu.

“Aku tak habis pikir mama…bagaimana kelak mental anak-anak kecil yang belum tau apa-apa ini. Kau pikir anak kecil itu tidak tau itu rumah adalah rumah bordil? Oukup? Dan berapa anak kecil kampung ini yang sudah tau bapaknya sering nangkring di Oukup itu? Tapi mulutnya terdiam mama, bagai ditempeli lem alteco, tak mampu berucap sepatah kata pun terhadap orang tuanya.

“Natua-tua I do Debata na niida, begitu pepatah Batak mama, orang tua itu adalah dewa bagi anak…yahh dewa yang suka selingkuh?, suka bermain wanita?, suka nongkrong di rumah bordil?

“Kalau saja aku jadi anak yang bapaknya seperti itu, kira-kira apa yang akan kulakukan? Apa yang akan keluar dari mulut kecil ini? Pantaskah seorang anak kecil berbicara moral? Berbicara keadilan? Berbicara mana yang benar mana yang salah? Menghakimi orang tuanya sendiri? Darah dagingnya?

“Bunda…bait suci itu dan orang-orang sucinya saja sudah tidak mampu berbicara moral. Mereka diam saja kan mama…? Dan mama pun sebagai guru agama anak SD juga ikut-ikutan diam saja kan? Pemerintah penguasa kabupaten ini juga diam saja kan? Aku capek baca alkitab itu mama, katanya itu adalah dosa yang sangat besar!!! Tapi..kok banyak orang tidak mengindahkannya lagi?

“Anakmu tidak akan tinggal diam bunda…kau telah mendidikku untuk selalu jujur dalam pikiran dan tindakan!!

Pikiranku masih saja tertuju pada komentar facebook sobatku, masih panas ubun-ubunku, kutenangkan pikiran, kuhirup lagi asap tembakau itu berkali-kali.

Kemudian bermacam rangkaian hubungan kata dan tanya bermunculan di otakku. Apa pulak itu facebook yah? Bisa digunakan untuk apa pulak, selain iseng-mengisengi teman dan kenalan di ujung sana, entah di kota mana. Aku tau, di dunia maya ini tak penting seorang berasal dari mana, kerjaannya apa, keturunan siapa, bangsa mana, warna kulitnya apa, bentuk jidatnya seperti apa, besar kupingnya bagaimana, jumlah uang di dompetnya berapa, punya bini-anak berapa, model pakaiannya terbaru atau tidak, orang saleh atau kriminalkah, pendeta-kiai-santo-biksu atau jahanamkah, dan sebutkanlah apapun yang muncul di otakmu.

Yang pasti, dunia virtual tak mengenal sekat, tak mengenal perbedaan, tak mengenal latar belakang, tak mengenal usia, tak mengenal jabatan, tak mengenal profesi. Mulai dari pelacur, jahanam, kriminal, sampai ke anak sekolahan, anak kuliahan, tukang sayur sampai tukang pembikin pesawat ulang alik, semuanya SAMA, sekali lagi SAMA. Tidak ada surga dan neraka disini. Yang membedakan disini adalah, manusia itu Gaptek atau tidak. Kalau dia gaptek, maka tersisihlah dia dari dunia teknologi baru ini. Ayahku pintar berpidato, pandai bergaul, tokoh masyarakat, Raja adat marga XXX sedunia, tapi dia tak tahu menahu soal internetan ini. Maka jelas dia sudah tersisih dari dunia ini, tak masuk hitungan disini, kecuali dia mau belajar dan belajar. Sepertinya sampai matipun ia tak kan mau belajar memakai dan menggunakan dunia virtual ini. Untuk apanya pulak?

Lantas aku yang tidak gaptek dan bisa memakai teknologi baru ini bagaimana? Pertanyaan itu pun muncul ke permukaan, dari sontakan komentar pendek sobatku itu. Lama sudah aku bertanya-tanya, sejak duduk di bangku kuliah. Aku yang berasal dari masyarakat tradisional telah berkenalan dengan masyarakat modern. Buatan siapa pulak internet ini? Amerika dan Eropa. Bill Gates dan microsoftnya lah yang menduniakan kevirtualan ini. Untuk generasiku, ke-maya-an dunia virtual ini sudah menjadi ke-nyata-an. Lamat-lamat tak terpisahkan lagi, internet ini sudah menjadi budaya baru bagiku dan generasiku. Facebook ini sudah menjadi aktualisasi baru bagi kami generasi millenia. Dan komentar kawanku mengancam keasikanku berkenalan dan menyatu dengan dunia baru ini.

Kalau kau membaca tulisan ini sobat, lantas bagaimana menggunakan teknologi ini? Kutanyalah kau, jawablah aku, sekarang!!!

Lagian bukan negeri kepulauan ini juga yang menciptakan kecanggihan dan kemewahan abad 21 ini. Sudah 500 tahun sejak Majapahit, tak menentu nasib dan kepribadian bangsa ini. Sebagian orang kata ini negeri kepulauan dihuni orang-orang yang bermental INLANDER, mental CORRUPT, bangsa kelas-3, INFERIOR. Apa sudah sumbangsih negeri ini terhadap majunya jaman? Itu jadi PR kita kawan.

Imperialisme Barat 350 tahun masih saja tetap berlanjut di mataku sekarang. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, semua yang kukenakan ini tak ada buatan manusia negeri kepulauan. Semuanya adalah hasil karya dan product import, dari pabrik-pabrik milik imperialis ekonomi itu. Tak berdaya kita, iyah..memang tak berdaya menghadapi tekanan dan kekuasaan ekonomi, politik dan bahkan budaya mereka.

Ingin ku telanjang saja rasanya berjalan-jalan, karena bangsaku adalah bangsa telanjang, bangsa pengecut, bangsa yang bermegah diri diatas kemajuan dan kecanggihan bangsa lain. Dan lebih aneh lagi kebanyakan manusia bangsa ini masih saja hanyut dengan khayalan Tuyul dan mba yul, mujijat, sorga, neraka, nenek moynag dan nenek lampir, dewa-dewi,  ahhh utopis khayalan.
SAMPAI KAPAN ?
Sampai kapan bangsa kita ini terjebak dengan alat imperialis barat itu? kita asik jegal menjegal, sikut menyikut, bunuh membunuh, hanya karena beda aliran, beda keyakinan, beda kepercayaan….
HEIIII mereka tertawa disana, mereka senyam senyum disana, menyedot minyak bumi, batubara, timah, besi, aluminium, emas, hutan, negeri kaya raya ini. Yahh…dengan alat mereka itu bangsa kita berhasil disihir…disihir menjadi bangsa yang hidup dalam khayalan…
Lihatlah sekitarmu, pandanglah tanah yang kau jejak, tataplah mata yang menderita itu, menderita dalam kemiskinan dalam kebodohan, ditakuti pulak dengan penderitaan neraka, siksa kekal…
aihhhhhh……SAMPAI KAPAN ?

Terima kasih komentar pedasmu kawan. Kuakui aku memang orang berisik dan tidak punya kerjaan… Bagiku Berisik dan berkoar-koar masih lebih baik daripada diam tak berarti.

Kini kau kutantang…

Apa yang akan kita lakukan terhadap bangsa ini? JAWAB AKU SEKARANG BEDEBAH!!!!

Samosir, 22 Desember 2008

Speechless

December 13, 2008

Speechless, Ohh…

speechless, keterasinganku semakin menjadi-jadi

speechless, khayalanku semakin membunuh  sadarku

speechless, hadirmu seolah tak mampu kubedakan dengan hadirnya

speechless, bisikmu senyata gumamnya

speechless, ingin kuraih dirimu, ku dicegah dirinya

speechless, saat kugenggam asamu, dirinya melepaskan dengan paksa

speechless, bersuaralah, kenapa kau diam saja

speechless, tidakkah kau rasakan galaunya, risaunya, resahnya, gundahnya

speechless, berteriaklah kumohon…

speechless, atau barangkali berikan aku pelukmu, jangan tinggalkan aku

speechless, tertawalah kau karena kini ku speechless